Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut arafuru dan pegunungan jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang ditempati adalah hutan belantara, Rumah tradisional suku Asmat, dikenal dengan nama Jeu. Suku Asmat mengenal dua jenis rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang. Konstruksi kedua bangunan ini pada dasarnya hampir sama, yaitu berbentuk persegi empat dengan sebuah ruangan besar ditengahnya termasuk rumah panggung. Yang membedakan adalah penghuninya. Jika rumah bujang dihuni oleh para pria, maka keluarga dihuni oleh para wanita dan keluarga inti.
Rumah bujang (jo atau jew) dibangun menghadap sungai dan dibangun sedemikian rupa sehingga mudah mengamati musuh. Ada tiga kategori kampung jika dilihat dari jumlah warganya.
Panjang rumah bujang bisa mencapai puluhan meter dan berdiri di atas tiang penyangga utama berupa batang sagu dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Masing-masing tiang dihubungkan dengan menggunakan tali rotan. Bagian dinding terbuat dari batang sagu yang dianyam sejajar secara vertikal dan diikat dengan rotan. Atapnya terbuat dari daun sagu. Lantainya ditutupi tikar yang terbuat dari daun sagu juga. Rumah ini biasanya diganti atap, dinding, dan lantainya setiap lima tahun sekali.
Dalam pembuatan rumah ini mereka tidak menggunakan paku sama sekali, mereka hanya menggunakan bahan-bahan dari hasil hutan yang masih alami. Hal ini dilakukan karena mereka sangat menghormati nilai-nilai luhur. Di dalam rumah adat suku Asmat ini juga tersimpan persenjataan suku Asmat seperti, tombak, panah untuk berburu, dan Noken. Noken adalah serat tumbuhan yang dianyam menjadi sebuah tas.
Jumlah pintu rumah harus sama dengan jumlah patung mbis dan tungku api. Hal ini mencerminkan jumlah suku-suku yang tinggal di sekitar rumah bujang. Patung mbis sendiri merupakan gambaran masing-masing leluhur suku dan mereka beri nama satu-satu sesuai dengan rumpun suku. Keyakinan mereka tentang patung mbis adalah rumah bujang akan terbebas dari pengaruh jahat jika dipasangi patung mbis.
Di rumah ini dilaksanakan berbagai upacara adat. Bangunan ini memiliki arti religius yang penting dan merupakan pusat kehidupan kampung. Selain itu dalam rumah bujang ini juga diselenggarakan segala macam musyawarah untuk merencanakan suatu pesta, peperangan, atau perdamaian. Pada waktu senggang di rumah ini orang menceritakan dongeng suci para leluhur, dan kisah kejayaan dalam peperangan, membuat dan mengukir perisai, tombak, panah, dan lain-lain. Di rumah ini jmuga kmadanmg-kmadanmg ada keluarga (laki-laki) yang tinggal sementara sampai mereka memiliki tempat tinggal sendiri
Ada dua bagian utama dari rumah ini yaitu yang disebut aipmu. Bagian yang menghadap ke hilir sungai disebut aipmu ep. Selain rumah bujang, suku asmat ada pula rumah keluarga yang dihuni 2 - 4 keluarga. Setiap keluarga inti terdiri dari seorang ayah, seorang atau beberapa orang istri dan anak-anak mereka. Di dalamnya terdapat bilik-bilik yang jumlahnya sesuai dengan jumlah keluarga yang menghuni rumah tersebut. Sementara itu setiap istri memiliki dapur, tangga, dan pintu sendiri.
Rumah bujang (jo atau jew) dibangun menghadap sungai dan dibangun sedemikian rupa sehingga mudah mengamati musuh. Ada tiga kategori kampung jika dilihat dari jumlah warganya.
- Kampung besar yang terletak di bagian tengah umumnya dihuni oleh kurang lebih 500 - 1.000 jiwa.
- Kampung di daerah pantai umumnya dihuni oleh sekitar 100 - 500 jiwa.
- Kampung di bagian hulu sungai umumnya lebih kecil lagi dan dihuni kurang lebih 50 - 90 jiwa
Panjang rumah bujang bisa mencapai puluhan meter dan berdiri di atas tiang penyangga utama berupa batang sagu dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Masing-masing tiang dihubungkan dengan menggunakan tali rotan. Bagian dinding terbuat dari batang sagu yang dianyam sejajar secara vertikal dan diikat dengan rotan. Atapnya terbuat dari daun sagu. Lantainya ditutupi tikar yang terbuat dari daun sagu juga. Rumah ini biasanya diganti atap, dinding, dan lantainya setiap lima tahun sekali.
Dalam pembuatan rumah ini mereka tidak menggunakan paku sama sekali, mereka hanya menggunakan bahan-bahan dari hasil hutan yang masih alami. Hal ini dilakukan karena mereka sangat menghormati nilai-nilai luhur. Di dalam rumah adat suku Asmat ini juga tersimpan persenjataan suku Asmat seperti, tombak, panah untuk berburu, dan Noken. Noken adalah serat tumbuhan yang dianyam menjadi sebuah tas.
Jumlah pintu rumah harus sama dengan jumlah patung mbis dan tungku api. Hal ini mencerminkan jumlah suku-suku yang tinggal di sekitar rumah bujang. Patung mbis sendiri merupakan gambaran masing-masing leluhur suku dan mereka beri nama satu-satu sesuai dengan rumpun suku. Keyakinan mereka tentang patung mbis adalah rumah bujang akan terbebas dari pengaruh jahat jika dipasangi patung mbis.
Di rumah ini dilaksanakan berbagai upacara adat. Bangunan ini memiliki arti religius yang penting dan merupakan pusat kehidupan kampung. Selain itu dalam rumah bujang ini juga diselenggarakan segala macam musyawarah untuk merencanakan suatu pesta, peperangan, atau perdamaian. Pada waktu senggang di rumah ini orang menceritakan dongeng suci para leluhur, dan kisah kejayaan dalam peperangan, membuat dan mengukir perisai, tombak, panah, dan lain-lain. Di rumah ini jmuga kmadanmg-kmadanmg ada keluarga (laki-laki) yang tinggal sementara sampai mereka memiliki tempat tinggal sendiri
Ada dua bagian utama dari rumah ini yaitu yang disebut aipmu. Bagian yang menghadap ke hilir sungai disebut aipmu ep. Selain rumah bujang, suku asmat ada pula rumah keluarga yang dihuni 2 - 4 keluarga. Setiap keluarga inti terdiri dari seorang ayah, seorang atau beberapa orang istri dan anak-anak mereka. Di dalamnya terdapat bilik-bilik yang jumlahnya sesuai dengan jumlah keluarga yang menghuni rumah tersebut. Sementara itu setiap istri memiliki dapur, tangga, dan pintu sendiri.