Dalam dunia pewayangan ada tokoh yang bernama Cakil atau Gendir Penjalin atau Dityakala Marica. Tokoh ini tidak dikenal dalam kitab asli Mahabarata maupun Ramayana. Tokoh ini memang produk lokal Jawa (Nusantara) layaknya tokoh wayang Gareng, Petruk, Bagong. Barangkali butuh penelitian untuk mengetahui siapa pembuat tokoh ini. Kalau penulis wayang RM Sayid menyebut wayang muncul pertama kali seputaran abad 15-16, tokoh Cakil itu sudah muncul di seputaran kurun waktu itu.
Bahkan, beberapa sumber menyebut tubuh Cakil yang berwajah raksasa ini merupakan imajinasi dari sebuah sengkalan (penandaan tahun dalam kalender Jawa) yang menandakan kapan tokoh Cakil dibuat pertama kali. Sebagaimana Gareng, Petruk, dan Bagong, Cakil juga merupakan profil rakyat kecil. Seorang kawula yang diberi tugas sebagai penjaga hutan. Dari gerakan tokoh Cakil ini bisa digunakan oleh penonton wayang kulit sebagai ukuran kemampuan dalang dalam memainkan wayang.
Kelincahan gerakan Cakil dalam menari sangat tergantung sang dalang dalam mengolah wayang. Cakil dipersonifikasi bukan hanya jelek wajahnya, tetapi juga perilakunya. Sebagai penjaga hutan, dalam wacana pewayangan, Cakil selalu dikenal sebagai tokoh alu amah (serakah), suka merampas harta orang. Anehnya, dalam setiap pementasan oleh dalang siapa pun, tak pernah tergambar perangai seperti itu. Cakil hanya digambarkan mencoba meminta keluar para ksatria yang akan masuk hutan yang tak jelas tujuannya. Tidak pernah digambarkan Cakil merampas harta para ksatria itu. Bahkan, gambaran Cakil seperti itu menjadi tidak rasional, ketika dikisahkan bahwa sahabat yang selalu menemani Cakil adalah Togog, tokoh yang masih saudara sekandung dengan para dewa, yaitu Betara Ismaya (Semar) dan Betara Guru.
Tokoh Cakil seperti membuka wacana untuk siapa saja yang ingin menggumuli kehadirannya dalam kehidupan manusia. Karena itu, wajar jika muncul anggapan Cakil sesungguhnya adalah profil rakyat, yang selalu muncul dalam lakon wayang apa saja. Ya, rakyat yang selalu tampil dalam setiap lakon sejarah kehidupan. Dalam lakon apa saja, baik itu dalam kancah politik, ekonomi sosial, budaya, rakyat senantiasa hadir. Hanya, dalam perjalanan sejarah kehadirannya, rakyat hanya menjadi obyek. Rakyat hanya menjadi sumber kekuatan untuk sebuah pencapaian yang tidak selalu untuk kesejahteraan bersama. Karenanya, rakyat tetap miskin dan salah-salah nasibnya seperti Cakil, mati dengan senjatanya sendiri. Mati dengan senjata sendiri artinya tak ada yang bertanggung jawab. Nasib rakyat, hak-hak rakyat sepertinya selalu berada dalam kotak misteri. Tak ada yang berani ambil tanggung jawab, bersama rakyat “angkat senjata” agar rakyat punya nilai juang yang hakiki. Bahkan, sampai pada kematian pun kehidupan rakyat masih saja menyimpan misteri.
Persis seperti kematian Munir yang mati dengan senjatanya sendiri, yaitu perjuangan hak-hak asasi manusia. Semua orang, semua yang terlibat, seperti cuci tangan membentuk sebuah korporasi yang cenderung menghilangkan jejak. Makanya, sebagai penjaga hutan hak Cakil hanya bisa mengingatkan memohon para ksatria untuk keluar dari dalam hutan. Ketika para ksatria itu membabat hutan, mengeksploitasi habis-habisan hasil hutan, Cakil tak berdaya. Kehidupan Cakil adalah kehidupan masyarakat pinggiran hutan yang tak pernah sejahtera dari hasil hutan. Bahkan, sering kali rakyat ditangkap karena mencuri beberapa gelondong kayu. Pemberontakan keadilan tak pernah keluar dari mulut rakyat, meskipun melihat orang-orang tambun seenaknya menjual produksi hutan.
Bahkan, beberapa sumber menyebut tubuh Cakil yang berwajah raksasa ini merupakan imajinasi dari sebuah sengkalan (penandaan tahun dalam kalender Jawa) yang menandakan kapan tokoh Cakil dibuat pertama kali. Sebagaimana Gareng, Petruk, dan Bagong, Cakil juga merupakan profil rakyat kecil. Seorang kawula yang diberi tugas sebagai penjaga hutan. Dari gerakan tokoh Cakil ini bisa digunakan oleh penonton wayang kulit sebagai ukuran kemampuan dalang dalam memainkan wayang.
Kelincahan gerakan Cakil dalam menari sangat tergantung sang dalang dalam mengolah wayang. Cakil dipersonifikasi bukan hanya jelek wajahnya, tetapi juga perilakunya. Sebagai penjaga hutan, dalam wacana pewayangan, Cakil selalu dikenal sebagai tokoh alu amah (serakah), suka merampas harta orang. Anehnya, dalam setiap pementasan oleh dalang siapa pun, tak pernah tergambar perangai seperti itu. Cakil hanya digambarkan mencoba meminta keluar para ksatria yang akan masuk hutan yang tak jelas tujuannya. Tidak pernah digambarkan Cakil merampas harta para ksatria itu. Bahkan, gambaran Cakil seperti itu menjadi tidak rasional, ketika dikisahkan bahwa sahabat yang selalu menemani Cakil adalah Togog, tokoh yang masih saudara sekandung dengan para dewa, yaitu Betara Ismaya (Semar) dan Betara Guru.
Tokoh Cakil seperti membuka wacana untuk siapa saja yang ingin menggumuli kehadirannya dalam kehidupan manusia. Karena itu, wajar jika muncul anggapan Cakil sesungguhnya adalah profil rakyat, yang selalu muncul dalam lakon wayang apa saja. Ya, rakyat yang selalu tampil dalam setiap lakon sejarah kehidupan. Dalam lakon apa saja, baik itu dalam kancah politik, ekonomi sosial, budaya, rakyat senantiasa hadir. Hanya, dalam perjalanan sejarah kehadirannya, rakyat hanya menjadi obyek. Rakyat hanya menjadi sumber kekuatan untuk sebuah pencapaian yang tidak selalu untuk kesejahteraan bersama. Karenanya, rakyat tetap miskin dan salah-salah nasibnya seperti Cakil, mati dengan senjatanya sendiri. Mati dengan senjata sendiri artinya tak ada yang bertanggung jawab. Nasib rakyat, hak-hak rakyat sepertinya selalu berada dalam kotak misteri. Tak ada yang berani ambil tanggung jawab, bersama rakyat “angkat senjata” agar rakyat punya nilai juang yang hakiki. Bahkan, sampai pada kematian pun kehidupan rakyat masih saja menyimpan misteri.
Persis seperti kematian Munir yang mati dengan senjatanya sendiri, yaitu perjuangan hak-hak asasi manusia. Semua orang, semua yang terlibat, seperti cuci tangan membentuk sebuah korporasi yang cenderung menghilangkan jejak. Makanya, sebagai penjaga hutan hak Cakil hanya bisa mengingatkan memohon para ksatria untuk keluar dari dalam hutan. Ketika para ksatria itu membabat hutan, mengeksploitasi habis-habisan hasil hutan, Cakil tak berdaya. Kehidupan Cakil adalah kehidupan masyarakat pinggiran hutan yang tak pernah sejahtera dari hasil hutan. Bahkan, sering kali rakyat ditangkap karena mencuri beberapa gelondong kayu. Pemberontakan keadilan tak pernah keluar dari mulut rakyat, meskipun melihat orang-orang tambun seenaknya menjual produksi hutan.
Rakyat memang punya wakil di “atas” sana. Di “atas” sana rakyat menaruh harapan. Tetapi, harapan itu terhenti pada sisi lain perangai Cakil, yang dikenal banyak omong dan pandai menari, bersilat. Perjuangan wakil rakyat terkadang hanya menjadi sebuah keindahan tarian persilatan dan diplomasi yang berbusa-busa. Pertengkaran yang menjurus perkelahian sempat terjadi di forum wakil rakyat, namun hasilnya tetap saja: cakil-cakil rakyat yang menari, sekadar tontonan.