Kamis, 23 April 2020

Kehidupan Zaman Praaksara di Indonesia

Gadis Rantau
Manusia purba yang hidup puluhan ribu tahun yang lalu hanya mengambil apa yang tersedia dari alam untuk memenuhi kebutuhannya. Awalnya, mereka tidak memiliki senjata, hanya menggunakan tangan dan kakinya untuk mencari makan. Semakin lama, mereka semakin mengenal alat untuk mempermudah dalam memenuhi kebutuhannya. Itulah teknologi awal yang mereka gunakan. Fosil manusia purba dan alat yang ditinggalkan menggambarkan kehidupan manusia zaman dahulu. Zaman kehidupan manusia purba disebut juga zaman praaksara. Dari berbagai bukti, diketahui bahwa kehidupan manusia di Indonesia telah berlangsung ratusan ribu tahun lalu. Lalu bagaimana perkembangan manusia purba di Indonesia?

A. Manusia di Indonesia pada Zaman Praaksara
Kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan sering disebut zaman praaksara. Kita tentu pernah melihat film tentang kehidupan masa praaksara, seperti tentang hewan-hewan dan manusia purba. Benarkah ada jenis binatang seperti Dinosaurus, Tinosaurus, dan Tirex seperti diceritakan dalam film tersebut? Ya, sebagian besar jenis binatang tersebut memang benar adanya berdasarkan bukti berupa fosil-fosil binatang dan tumbuhan yang ditemukan oleh para ahli arkeologi.

Bagaimana halnya dengan perkembangan jenis manusia purba di Indonesia? Apakah bentuk dan kehidupan mereka sama dengan bentuk dan kehidupan manusia pada zaman sekarang? Ternyata, tidak! Bentuk dan kehidupan manusia pada masa praaksara tidaklah sama persis dengan kehidupan manusia zaman sekarang.
Masyarakat Indonesia mulai mengenal tulisan pada abad V M. Bukti mulainya bangsa Indonesia mengenal tulisan berdasar prasasti yang tertulis pada Yupa (tugu peringatan) di Kalimantan Timur. Prasasti pada Yupa merupakan peninggalan Kerajaan Kutai berangka tahun 400.
1. Fosil Manusia Purba di Indonesia
Bengawan Solo tidak hanya terkenal melalui lagu ciptaan Gesang, tetapi juga terkenal karena di sepanjang alirannya banyak ditemukan peninggalan zaman praaksara. Peninggalan yang ditemukan, antara lain fosil manusia purba, alat, serta senjata mereka. Peninggalan ini merupakan bukti adanya kehidupan manusia purba di Indonesia.

Fosil adalah sisa-sisa kehidupan organik, seperti manusia, binatang, dan tumbuhan pada masa lalu yang telah membatu. Di Indonesia, kita banyak menemukan fosil di berbagai tempat. Biasanya mereka ditemukan dekat dengan aliran sungai atau tempat-tempat berair, seperti danau dan laut. Salah satu tempat terpenting dalam penemuan fosil manusia purba di Indonesia adalah lembah Sungai Bengawan Solo. Sungai ini memanjang dari Jawa Tengah sampai Jawa Timur.

Penemu fosil pertama di Indonesia adalah E. Dubois di daerah Trinil, salah satu daerah dekat Ngawi Jawa Timur tahun 1890. Jenis manusia purba tersebut adalah Pithecanthropus Erectus. Awalnya, ditemukan sebagian dari tulang rahang, disusul penemuan sebuah geraham dan bagian atas tengkorak dan tulang paha kiri.

Pithecanthropus Erectus dikategorikan antara manusia dengan kera. Selain didasarkan pada volume otak, juga didasarkan pada ciri-ciri fisik yang lain. Tulang keningnya sangat menonjol ke muka dan di atas bagian hidung bergandeng menjadi satu. Di atas tulang kening tulang dahinya terus saja licin ke belakang sehingga dapat dikatakan dahinya tidak ada.

Tulang pahanya lebih mempunyai sifat kemanusiaan sehingga nyata pemilik tulang dapat berjalan tegak. Dari ukuran tulang paha itu diperkirakan makhluk tersebut tingginya 165 cm. Gerahamnya lebih besar dari geraham terbesar jenis manusia biasa dan menunjukkan sifat-sifat kera. Dari ciri-ciri fisik tersebut, makhluk itu diberi nama Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang berjalan tegak).

Penemuan Pithecanthropus Erectus mendorong penemuan-penemuan yang lain.

a. Homo Mojokertensis
Von Koenigswald pada 1936 menemukan sebuah fosil tengkorak kanak-kanak di dekat Mojokerto. Dari gigi-giginya diperkirakan kanak-kanak tersebut belum melewati umur lima tahun. Makhluk itu dinamakan Homo Mojokertensis.

b. Meganthropus Paleojavanicus
Pada tahun 1941, di daerah Sangiran (lembah Sungai Bengawan Solo) Von Koenigswald menemukan sebagian tulang rahang bawah yang jauh lebih besar dan kuat daripada rahang Pithecanthropus Erectus. Von Koenigswald menempatkan makhluk ini lebih tua daripada Pithecanthropus Erectus mana pun. Mengingat bentuk tubuhnya yang besar (megas), makhluk itu diberi nama Meganthropus Paleojavanicus.

c. Homo Soloensis
Di dekat Ngandong (kawasan lembah Bengawan Solo, Kabupaten Blora), ditemukan sebelas fosil tengkorak oleh Von Koenigswald dan Weidenrich. Makhluk-makhluk itu lebih tinggi tingkatannya daripada Pithecanthropus Erectus, bahkan dapat dikatakan sebagai manusia. Oleh karena itu, fosil-fosil tersebut dinamakan Homo Soloensis (manusia dari Solo).
Professor Dr. Gustav Heinrich Ralph (G. H. R.) von Koenigswald (1902-1982) lahir di Berlin pada 13 November 1902. Ia mulai mengoleksi fosil vertebrata ketika berumur 15 tahun. Koenigswald mempelajari geologi dan palaeontologi di Berlin, Tübingen, Cologne and Munich. Ia dikenal sebagai seorang paleontologis dan geologis yang melakukan penelitian terhadap homo, termasuk Homo erectus. Ralph von Koensinswald telah memberikan banyak kontribusi dalam bidang palaeontologi selama kariernya. Penemuan dan penelitiannya mengenai fosil-fosil di Jawa dan penelitian fosil lainnya di Asia Tenggara menempatkannya sebagai salah satu pemimpin figur antropologi manusia abad 20. Von Koenigswald meninggal di rumahnya di Bad Homburg dekat Frankfurt-am-Main Jerman Barat pada 10 Juli 1982.
2. Mengenal Jenis-Jenis Manusia Purba di Indonesia
Para ahli membagi jenis manusia purba di Indonesia menjadi tiga. Pembagian tersebut berdasarkan hasil penemuan fosil manusia purba. Ketiga jenis manusia purba yang ada di Indonesia adalah Meganthropus, Pithecanthropus, dan Homo. Bagaimana ciri-ciri ketiga jenis manusia tersebut?
a. Meganthropus (Manusia Besar)
Meganthropus berasal dari dua kata. Megas artinya besar atau raksasa dan anthropus artinya manusia. Jenis manusia purba Meganthropus ditemukan oleh Van Koenigswald pada tahun 1936 di daerah Sangiran. Hasil penemuannya ini sering dikenal dengan nama Meganthropus Palaeojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa. Jenis manusia ini memiliki rahang kuat dengan badan yang tegap. Mereka diperkirakan hidup dengan cara mengumpulkan bahan makanan, terutama tumbuh-tumbuhan. Meganthropus diperkirakan hidup sekitar dua sampai satu juta tahun yang lalu sejak penelitian.

b. Pithecanthropus (Manusia Kera Berjalan Tegak)
Pithecanthropus merupakan jenis yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Hasil penemuan di Indonesia, antara lain Pithecanthropus Erectus, Pithecanthropus Mojokertensis, dan Pithecanthropus Soloensis. Pithecanthropus Erectus artinya manusia kera yang berjalan tegak. Jenis ini ditemukan oleh Eugene Dubois tahun 1891 di Trinil. Pithecanthropus Mojokertensis ditemukan di Jetis dekat Mojokerto Jawa Timur oleh Von Koenigswald. Pithecanthropus Soloensis sementara itu ditemukan di Ngandong, lembah Bengawan Solo oleh Von Koenigswald, Ter Haar, dan Oppenoorth.

Beberapa ciri manusia Pithecanthropus, antara lain sebagai berikut.
  1. Pada tengkorak, tonjolan keningnya tebal.
  2. Hidungnya lebar, dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol.
  3. Tinggi sekitar 165–180 cm.
  4. Pemakan tumbuhan dan daging (pemakan segalanya).
c. Manusia Purba Homo Wajakensis dan Homo Soloensis
Homo Wajakensis berarti manusia dari Wajak. Eugene Dubois menemukan fosil ini pada tahun 1889 di dekat Wajak, Tulungagung Jawa Timur. Homo Wajakensis diperkirakan menjadi nenek moyang dari ras Australoid yang merupakan penduduk asli Australia. Homo Soloensis artinya manusia dari Solo ditemukan di Ngandong, lembah Bengawan Solo antara tahun 1931–1934. Penemunya adalah Ter Haar dan Oppenorth. Kehidupan Homo Soloensis sudah lebih maju dengan berbagai alat untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidup dari berbagai ancaman.

Ciri-ciri homo, antara lain
  1. muka lebar dengan hidung yang lebar;
  2. mulutnya menonjol;
  3. dahinya juga masih menonjol, sekalipun tidak seperti jenis Pithecanthropus;
  4. bentuk fisiknya sudah seperti manusia sekarang;
  5. tingginya 130–210 cm;
  6. berat badan 30–150 kg;
  7. hidupnya sekitar 40.000–25.000 tahun yang lalu.
Homo Soloensis dan Homo Wajakensis kemudian mengalami perkembangan. Jenis homo ini diberi nama Homo Sapiens. Homo Sapiens lebih sempurna dilihat dari cara berpikir walaupun masih sangat sederhana. Homo Sapiens berarti manusia cerdas, diperkirakan hidup 40.000 tahun yang lalu setelah penelitian. Jenis inilah yang nantinya menjadi nenek moyang bangsa Indonesia.

3. Manusia Purba Memenuhi Kebutuhan Hidupnya
Bagaimana sistem kehidupan manusia purba? Bagaimana cara mereka mendapatkan makanan? Di manakah mereka bertempat tinggal? Berdasarkan corak kehidupannya, Zaman Praaksara dapat dibagi menjadi tiga periode.

a. Masa Berburu dan Meramu
Masa berburu dan meramu merupakan masa paling awal manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Ketersediaan kebutuhan hidup oleh alam merupakan sumber utama kehidupan mereka. Bagaimana proses kehidupan pada masa ini?

1) Mencari dan Mengumpulkan Makanan (Foodgathering)
Manusia praaksara pada awalnya hanya memenuhi kebutuhan hidupnya dari mencari dan mengumpulkan makanan. Mereka belum mengenal bercocok tanam, apalagi tempat tinggal. Makanan yang dikumpulkan berupa jenis ubi-ubian, buah-buahan, keladi ataupun daun-daunan. Bahan makanan yang dikumpulkan tidak dimasak terlebih dahulu, tetapi langsung dimakan karena pada saat itu manusia purba belum mengenal api untuk memasak. Mereka menggunakan alat berburu dari ketersediaan alam juga, seperti kayu, batu, atau tulang hewan yang telah mati. Alat-alat yang digunakan masih sangat sederhana dan kasar.

2) Hidup Berkelompok
Pada umumnya, manusia purba hidup secara berkelompok. Mereka memilih tempat yang banyak bahan makanan dan air. Padang rumput dan hutan yang berdekatan dengan sungai mereka pilih sebagai tempat hidup berkelompok. Tempat tersebut dipilih karena banyak terdapat bahan makanan dan dilewati binatang buruan.

3) Bertempat Tinggal Sementara
Pada perkembangannya, sebagian manusia purba ada yang mulai bertempat tinggal sementara. Mereka biasanya tinggal di gua-gua, tepi danau, ataupun di ceruk-ceruk di tepi pantai. Tempat-tempat tersebut mereka gunakan untuk berteduh dan menimbun bahan makanan.

b. Masa Bermukim dan Bercocok Tanam
Melalui pengalaman hidupnya, manusia purba menemukan cara baru untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka menemukan cara bercocok tanam. Seiring dengan masa bercocok tanam, mereka mulai hidup menetap. Kebudayaan lainnya ikut berkembang dengan pesat. Alat pertanian berkembang semakin maju. Begitu pula dengan sistem sosial dan sistem kepercayaan mulai terbina secara teratur. Masa bermukim dan bercocok tanam sering disebut masa revolusi kebudayaan. Hal ini didasarkan pada terjadinya perubahan besar pada berbagai corak kehidupan manusia purba.

Pada kebudayaan manusia purba, masa ini juga menandai mulainya zaman Neolithikum (zaman batu baru). Pendukung utama kebudayaan ini adalah manusia Homo Sapiens. Jenis manusia ini sering disebut ’si cerdas’ karena sudah menggunakan akal pikiran secara sempurna.

Kehidupan masa bermukim dan bercocok tanam meliputi berikut ini.

1) Kehidupan Bermukim dan Berladang
Manusia purba memulai kegiatan berladang dengan membakar hutan untuk dijadikan ladang baru. Mereka juga melakukan kegiatan berburu dan menangkap ikan serta kegiatan beternak. Hewan yang diternakkan, antara lain kerbau, sapi, kuda, babi ataupun unggas. Pada tahap ini, manusia tidak lagi hanya bergantung pada alam. Mereka sudah mengusahakan dan menghasilkan bahan makanan sendiri, yaitu dengan bercocok tanam dan beternak. Cara hidup seperti ini biasa disebut food producing.

2) Kehidupan Bercocok Tanam di Persawahan
Jumlah penduduk food producing semakin meningkat. Jenis tanaman yang ditanam juga semakin bertambah. Padi jenis ’gogo’ yang biasa ditanam di tanah kering mulai dikembangkan. Mereka mulai mengenal cara membuat pematang-pematang untuk menahan air dan saluran air.
Di Patiayam Kudus, kembali ditemukan fosil gading gajah purba. Sebelumnya, selama November 2007hingga awal Maret 2008, tim Balai Arkeologi Jogjakarta (BAJ) dan sebagian warga menemukan dan menggali beberapa jenis fosil di situs Patiayam, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Penemuan terbaru berupa dua fosil gading gajah purba (Stegodon trigono chepalus sp). Selain dua fosil gading gajah, di lokasi yang sama juga ditemukan fosil geraham, tulang paha, tulang bahu, dan beberapa bagian dari fosil binatang purba.
Sumber: www.kompas. com
B. Berbagai Hasil Kebudayaan Masyarakat Praaksara 

Berdasarkan hasil kebudayaannya, secara garis besar kebudayaan Zaman Praaksara dibagi menjadi Zaman Batu dan Zaman Logam. Pada zaman batu, tidak berarti manusia purba hanya memakai alat dari batu. Mereka juga menggunakan alat dari kayu. Namun, bekasnya tidak bisa ditemukan lagi karena sudah lapuk.

1. Zaman Batu
Pada Zaman Batu, peralatan yang digunakan manusia purba terbuat dari batu. Zaman Batu dibedakan menjadi empat zaman, yaitu Zaman Palaeolithikum, Mesolithikum, Neolithikum, dan Megalithikum.

a. Zaman Palaeolithikum (Zaman Batu Tua)
Disebut Zaman Batu Tua karena hasil kebudayaan dibuat dari batu dan pengerjaannya masih sederhana dan kasar. Hasil kebudayaan pada Zaman Palaeolithikum yang terkenal adalah kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong. Pacitan adalah nama salah satu kabupaten di Jawa Timur yang
berbatasan dengan Jawa Tengah. Pada zaman purba, diperkirakan aliran Bengawan Solo mengalir ke selatan dan bermuara di pantai Pacitan. Pada 1935, Von Koenigswald menemukan beberapa alat dari batu di Pacitan. Alat-alat tersebut bentuknya menyerupai kapak, tetapi tidak bertangkai sehingga menggunakan kapak tersebut dengan cara digenggam. Alat-alat batu dari Pacitan ini disebut dengan kapak genggam (chopper) dan kapak perimbas. Di Pacitan juga ditemukan alat-alat berbentuk kecil yang disebut serpih. Berbagai benda peninggalan tersebut diperkirakan digunakan oleh manusia purba jenis Meganthropus.

Sedangkan Ngandong adalah salah satu daerah dekat Ngawi, Madiun, Jawa Timur. Di daerah Ngandong dan Sidorejo banyak ditemukan alat dari tulang dan alat-alat kapak genggam dari batu. Alat-alat dari tulang itu di antaranya dibuat dari tulang binatang dan tanduk rusa. Selain itu, ada juga alat-alat seperti ujung tombak yang bergerigi pada sisi-sisinya. Berdasarkan penelitian, alat-alat itu merupakan hasil kebudayaan Homo Soloensis dan Homo Wajakensis. Karena ditemukan di daerah Ngandong, dikenal secara umum dengan Kebudayaan Ngandong.

Di dekat Sangiran, dekat dengan Surakarta ditemukan juga alat-alat berbentuk kecil yang biasa disebut flake. Manusia purba sudah memiliki nilai seni yang tinggi. Pada beberapa flake ada yang dibuat dari batu indah, seperti chalcedon.
b. Zaman Mesolithikum (Zaman Batu Madya)
Dua hal yang menjadi ciri Zaman Mesolithikum adalah kebudayaan Kjokkenmoddinger dan abris sous roche.

1) Kjokkenmoddinger 
Kjokkenmoddinger berasal dari bahasa Denmark. Kjokken berarti dapur dan modding berarti sampah. Jadi, kjokkenmoddinger adalah sampah-sampah dapur. Kjokkenmoddinger merupakan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung. Di dalam Kjokkenmoddinger ditemukan banyak kapak genggam. Kapak tersebut berbeda dengan chopper (kapak genggam dari Zaman Palaeolithikum).

Kapak genggam tersebut dinamakan pebble atau Kapak Sumatra berdasarkan tempat penemuannya. Di samping pebble, ditemukan pula kapak pendek (hache courte) dan pipisan (batu bata penggiling beserta landasannya).

2) Abris Sous Roche
Manusia purba menjadikan gua sebagai rumah. Kehidupan di dalam gua yang cukup lama meninggalkan sisa-sisa kebudayaan dari mereka. Abris sous roche adalah kebudayaan yang ditemukan di dalam gua-gua. Di daerah mana alat-alat tersebut ditemukan? Alat-alat apa saja yang ditemukan di dalam gua tersebut?

Di Gua Lawa, Sampung, Ponorogo, Jawa Timur banyak ditemukan alat-alat, seperti flake, kapak, batu penggilingan, dan beberapa alat dari tulang. Karena di gua tersebut banyak ditemukan peralatan dari tulang, disebut Sampung Bone Culture. Selain di Sampung, gua-gua sebagai abris sous roche terdapat juga di Besuki, Bojonegoro, dan Sulawesi Selatan.

c. Zaman Neolithikum (Zaman Batu Baru/Batu Muda)
Zaman Neolithikum merupakan perkembangan zaman dari kebudayaan batu madya. Alat-alat dari batu yang mereka hasilkan lebih sempurna dan telah lebih halus disesuaikan dengan fungsinya. Hasil kebudayaan yang terkenal pada Zaman Neolitikum adalah jenis kapak persegi dan kapak lonjong.

1) Kapak Persegi
Kapak persegi berbentuk persegi panjang atau trapesium. Kapak persegi yang besar sering disebut beliung atau pacul (cangkul). Sementara yang berukuran kecil disebut trah (tatah) yang digunakan untuk mengerjakan kayu. Alat-alat itu, terutama beliung, sudah diberi tangkai. Daerah persebaran kapak persegi adalah daerah Indonesia bagian barat, misalnya di daerah Sumatra, Jawa, dan Bali.

2) Kapak Lonjong
Kapak lonjong dibuat dari batu berbentuk lonjong yang sudah diasah halus dan diberi tangkai. Fungsi alat ini diperkirakan untuk kegiatan menebang pohon. Daerah persebaran kapak lonjong umumnya di daerah Indonesia Bagian Timur, misalnya di daerah Irian, Seram, Tanimbar, dan Minahasa.

Pada Zaman Neolithikum, di samping ada berbagai kapak, juga ditemukan berbagai alat perhiasan. Misalnya, di Jawa ditemukan gelang-gelang dari batu indah dan alat-alat tembikar atau gerabah. Pada zaman itu sudah dikenal adanya pakaian. Hal ini terbukti dengan ditemukannya alat pemukul kulit kayu yang dijadikan sebagai bahan pakaian.

Ikhtisar Kebudayaan Zaman Batu
d. Zaman Megalithikum (Zaman Batu Madya)
Peninggalan kebudayaan Megalithikum terbuat dari batu berukuran besar. Kebudayaan Megalithikum tidak hanya untuk keperluan memenuhi kebutuhan hidup manusia secara fisik. Mereka juga telah membuat berbagai bangunan batu untuk kepentingan berbagai upacara keagamaan, di antaranya dipergunakan dalam persembahyangan maupun untuk mengubur jenazah. Hasil-hasil Kebudayaan Megalithikum, antara lain sebagai berikut.

1) Menhir
Menhir adalah tiang atau tugu batu yang didirikan sebagai sarana untuk memuja arwah nenek moyang. Menhir banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Kalimantan, dan Sulawesi Tengah.

2) Dolmen
Dolmen merupakan bangunan berbentuk seperti meja batu, berkaki menhir (menhir yang agak pendek). Bangunan ini digunakan sebagai tempat sesaji dan pemujaan terhadap nenek moyang. Ada juga dolmen yang di bawahnya berfungsi sebagai kuburan. Bangunan semacam ini dinamakan pandusha.

3) Sarkofagus
Sarkofagus adalah peti kubur batu yang bentuknya seperti lesung dan mempunyai tutup. Sarkofagus banyak ditemukan di daerah Bali. Bersama Sarkofagus juga ditemukan tulang-tulang manusia beserta bekal kubur, seperti perhiasan, periuk, dan beliung.

4) Kubur Batu
Kubur batu hampir sama dengan sarkofagus, begitu juga dengan fungsinya. Bedanya, kubur batu ini terbuat dari lempengan atau lembaran batu yang lepas-lepas dan dipasang pada keempat sisinya, bagian alas dan bagian atasnya. Kubur peti batu ini banyak ditemukan di daerah Kuningan, Jawa Barat.

5) Punden Berundak
Punden berundak adalah bangunan dari batu yang disusun secara bertingkat. Fungsi bangunan ini adalah untuk pemujaan. Punden berundak ditemukan di daerah Lebak Sibedug, Banten Selatan.

6) Arca
Arca adalah patung yang dibuat menyerupai bentuk manusia dan binatang. Binatang yang digambarkan, di antaranya gajah, kerbau, kera, dan harimau. Arca ini banyak ditemukan, antara lain di Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

2. Zaman Logam
Pada Zaman Logam, manusia telah mengembangkan teknologi yang cukup tinggi. Mengapa dikatakan teknologi tinggi? Sebab batu tinggal membentuk sesuai kehendak pemahat. Logam sementara itu tidak dapat dipahat dengan mudah sebagaimana halnya batu. Manusia purba membuat peralatan dari logam seperti perunggu dan besi. Mereka telah mengolah bahan tersebut menjadi beraneka macam bentuk. Hal ini membuktikan bahwa manusia purba telah mengenal peleburan logam. Kebudayaan Zaman Logam sering juga disebut Zaman Perundagian.

Manusia purba membuat peralatan dari logam, baik sebagai alat berburu, mengerjakan ladang, maupun untuk keperluan upacara keagamaan. Alat-alat dari perunggu, misalnya kapak corong atau kapak sepatu. Kapak corong ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa, Bali, serta Sulawesi Tengah dan Selatan.

Di beberapa daerah di Indonesia juga ditemukan nekara. Nekara digunakan untuk upacara keagamaan (kepercayaan pada masa purba). Misalnya, dalam upacara memanggil hujan dan persembahan lainnya. Nekara ini berbentuk seperti berumbung yang berpinggang bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup. Jadi, seperti dandang telungkup. Daerah penemuannya di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Pulau Roti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Di Alor ditemukan nekara yang berukuran kecil yang disebut moko.

Selain nekara, juga ditemukan alat atau benda-benda perhiasan, seperti kalung, cincin, anting-anting, dan manik-manik.

C. Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Manusia sekarang bukan keturunan dari Pithecantropus atau Meganthropus. Kita adalah keturunan manusia jenis Homo Sapiens. Seperti telah kalian pelajari sebelumnya, manusia jenis Homo Sapiens inilah yang ciri-cirinya mirip dengan manusia sekarang. Tahukah kalian dari mana asal mula nenek moyang bangsa Indonesia?

1. Asal Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Menurut penyelidikan para ahli, nenek moyang bangsa Indonesia bukan asli dari Indonesia. Jenis manusia Homo Sapiens ini terbagi atas tiga subspesies atau ras.
  1. Ras Mongoloid: berkulit kuning, tinggi badan cukup, hidung menonjol sedikit (tidak mancung, tetapi juga tidak pesek), menyebar ke Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
  2. Ras Kaukasoid: berkulit putih, tinggi, badan jangkung, hidung mancung, menyebar di Eropa dan Asia kecil (Timur Tengah).
  3. Ras Negroid: berkulit hitam, bibir tebal, rambut keriting, menyebar di Afrika, Australia, dan Iran.
Hasil penyelidikan Von Hiene Geldern tentang penyebaran kapak persegi, menyimpulkan bahwa jenis manusia Homo Sapiens bukan asli dari Indonesia. Nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah Campa, Cochin China, Kamboja, dan daerah-daerah di sepanjang pantai di Teluk Tonkin. Sementara itu, kalau dilihat dari pangkal kebudayaannya, mereka berasal dari wilayah Yunnan di Tiongkok Selatan. Mereka termasuk rumpun bangsa Austronesia. Rumpun bangsa Austronesia terdiri atas dua subspesies/ras, yaitu ras Mongoloid dan ras Austro Melanesoid. Mereka inilah nenek moyang bangsa Indonesia sesungguhnya.

2. Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Nenek moyang bangsa Indonesia adalah para pelaut ulung. Sejak 2000 SM hingga 50 SM, terjadi gelombang perpindahan penduduk dari bagian Asia (Yunan) ke wilayah nusantara. Pendapat ini dikuatkan dengan adanya kesamaan hasil kebudayaan yang ditemukan berupa beliung atau kapak persegi di Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi bagian barat. Alat berupa kapak persegi atau beliung ini juga ditemukan di Siam, Malaka, Burma, Vietnam, Kamboja, dan terutama di Yunnan.

Penduduk dari Yunnan bergerak ke arah selatan sampai ke wilayah Vietnam. Sebagian menetap di wilayah ini, sebagian lagi melanjutkan perjalanan berlayar untuk mencari tempat tinggal yang baru. Dengan menggunakan perahu bercadik mereka secara bergelombang berlayar akhirnya sampai ke Kepulauan Nusantara. Tersebarlah orang-orang dari Yunnan itu ke nusantara. Mereka kemudian menetap dan mengembangkan kebudayaan di Indonesia.
Ternyata, kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia tidak serempak. Mereka datang secara bergelombang yang secara garis besar terbagi dalam dua gelombang.

a. Gelombang Pertama
Gelombang pertama diperkirakan datang sekitar tahun 2000 SM–1500 SM. Dari Vietnam ini, rombongan orang-orang dari Yunnan terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama meneruskan perjalanan dan berlayar sampai ke Malaka, Sumatra, Jawa, Bali, dan tempat-tempat lain, seperti di Kalimantan Barat. Kemudian, kelompok yang lain (kelompok kedua) berlayar ke arah perairan Laut Cina Selatan, terus ke Kepulauan Filipina, Sulawesi, Maluku sampai ke Irian.

Kelompok pertama yang berlayar ke wilayah Malaka, Sumatra, Jawa, Bali, dan tempat-tempat lain, seperti di Kalimantan Barat termasuk ras Mongoloid. Mereka inilah yang membawa dan menyebarkan beliung atau kapak persegi ke berbagai daerah tersebut. Kapak persegi adalah alat yang sangat mendukung untuk mengerjakan sawah (untuk kegiatan pertanian). Daerah-daerah yang dilewati dan ditempati ras Mongoloid, seperti Malaka, Jawa, dan Sumatra merupakan daerah perkembangan pertanian.

Kelompok kedua yang bergerak dan berlayar sampai ke Sulawesi, Maluku, Irian, dan sekitarnya adalah orang-orang Ras Austro Melanesoid. Mereka inilah yang membawa dan menyebarkan kapak lonjong. Kapak lonjong ini umumnya menyebar di Indonesia bagian timur. Kapak lonjong banyak digunakan untuk bekerja di ladang, perkebunan, atau hutan.

b. Gelombang Kedua
Kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia gelombang kedua diperkirakan terjadi sekitar tahun 500 SM. Pada waktu itu, orang-orang Austronesia bergerak dari Tonkin, terus melewati Malaka (Malaysia) Barat. Mereka menyebar ke Sumatra, Jawa, Madura, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan sekitarnya. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia gelombang kedua ini hanya satu kelompok besar, yaitu orang-orang Austronesia. Mereka menyebar ke Indonesia melalui Indonesia bagian barat.

Orang-orang Yunnan ataupun Tonkin yang termasuk rumpun bangsa Austronesia, baik itu Ras Mongoloid maupun Austro Melanesoid, baik yang datang pada gelombang pertama maupun yang datang pada gelombang kedua, menetap di Kepulauan Indonesia. Mereka bercampur dan berpadu membentuk komunitas di Kepulauan Indonesia. Merekalah yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia. Dengan demikian, nenek moyang bangsa Indonesia bukanlah mereka yang dikenal dengan Pithecantrhopus atau Meganthropus, melainkan orang-orang dari Yunnan yang datang secara bergelombang ke Indonesia.

Mengapa nenek moyang kita melakukan perjalanan sejauh itu? Diperkirakan pada masa tersebut situasi di Asia Tengah (termasuk daerah Yunnan) terjadi persaingan ketat antarsuku. Akibatnya, nenek moyang kita menyingkir untuk mencari kehidupan yang lebih aman. Selain itu, mereka juga ingin mendapatkan daerah baru yang lebih makmur untuk memenuhi kehidupannya. Karena dorongan untuk maju itulah, nenek moyang rela melakukan perjalanan jauh dengan peralatan sederhana. Padahal, mereka menghadapi rintangan yang ganas dan sulit.

Kesimpulannya, Berbagai fosil dan peninggalan kebudayaan manusia Indonesia masa praaksara menunjukkan manusia selalu berkembang untuk maju. Awalnya, hanya mengenal batu kasar (Palaeolithikum), kemudian berkembang menuju masa batu tengah (Mesolithikum). Dari kebudayaan Mesolithikum akhirnya manusia mengenal logam dan cara pengolahannya. Kebutuhan manusia tidak cukup hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, mereka sadar bahwa ada kekuatan di luar alam fisik. Mereka mulai mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme. Mereka telah mengenal konsep ketuhanan yang diwujudkan dengan berbagai peninggalan, terutama pada Zaman Batu Besar (Megalithikum). Menhir, sarkofagus, patung, dolmen, dan punden berundak merupakan contoh-contoh bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah masyarakat yang religius. Nenek moyang bangsa Indonesia diperkirakan berasal dari daerah Yunnan. Mereka melakukan perjalanan ke selatan dengan menggunakan perahu bercadik. Setelah sampai di wilayah nusantara, mereka segera melakukan aktivitas kehidupan yang dinamis. Mereka mengembangkan keluarga. Akhirnya, terbentuk kelompok, dan seterusnya.