Kalimantan atau juga disebut Borneo pada jaman kolonial, adalah pulau terbesar ketiga di dunia yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah barat Pulau Sulawesi. Borneo yang berasal dari nama kesultanan Brune adalah nama yang dipakai oleh kolonial Inggris dan Belanda untuk menyebut pulau ini secara keseluruhan, sedangkan Kalimantan adalah nama yang digunakan oleh penduduk kawasan timur pulau ini yang sekarang termasuk wilayah Indonesia.
Pulua Kalimantan memiliki sejarah yang sangat panjang sehingga banyak kerajaan dan kesultanan yang ada di pulau tersebut. Beberapa nama kerajaan dan kesultanan yang ada di pulau Kalimantan antara lain sebagai berikut.
Kerajaan Kutai (350–1605) M
Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu ibukota di Kutai Lama (Tanjung Kute).
Kesultanan Kutai Kartanegara (1300–1960) M
Kesultanan Kutai merupakan kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai. Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit
Pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Kedaton Putih, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai,
Kesultanan Banjar (1520-1860) M
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin berdiri pada Tahun 1520, dihapuskan sepihak oleh Belanda pada 11 Juni 1860. Namun rakyat Banjar tetap mengakui ada pemerintahan darurat/pelarian yang baru berakhir pada 24 Januari 1905. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terkahir di Martapura. Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Kerajaan Batulicin dan Cantung (1780-1826) M
Kerajaan Batu Licin adalah kerajaan pecahan dari kerajaan Tanah Bumbu. Wilayah Batu Licin mencakup Daerah Aliran Sungai Batulicin serta daerah sekitarnya, yaitu wilayah kecamatan Batulicin sebelum dimekarkan menjadi 4 kecamatan : Batulicin, Simpang Empat, Karang Bintang dan Mentewe. Penguasa pertama kerajaan Batulicin adalah Ratu Intan I (1780-1800).
Pada 4 Mei 1826, Sultan Adam (raja Banjar) menyerahkan wilayah Batulicin kepada Hindia Belanda. Batulicin sekarang merupakan ibukota dari Kabupaten Tanah Bumbu. Wilayah Kabupaten Tanah Bumbu tidak sama dengan wilayah bekas Kerajaan Tanah Bumbu.
Kerajaan Bangkalaan
Bangkalaan adalah suatu wilayah pemerintahan sipil yang dikepalai seorang bumiputera yang berkedudukan di Samarinda. Pemerintah swapraja daerah tersebut dikuasakan kepada seorang kepala bumiputera yaitu Pangeran Muda Muhammad Arifbillah Aji Samarang. Daerah ini sebelumnya adalah kerajaan Suku Dayak Bangkalaan yang berdiri di Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Sekarang wilayah kerajaan ini menjadi beberapa kecamatan di Kabupaten Kotabaru yaitu Kecamatan Kelumpang Utara, Kotabaru, Kelumpang Hulu, Kotabaru, dan Kelumpang Selatan, Kotabaru. Raja yang terkenal dari daerah ini adalah Pangeran Agung atau Raja Agung.
Kesultanan Berau (1377-1826) M
Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau sekarang . Raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur.
Pada masa Sultan Adam dari Banjar dibuat perjanjian dengan Belanda yang di antara pasalnya menyerahkan vazal-vazal Banjar termasuk negeri Berau dan daerah-daerah lain di Kalimantan kepada Hindia Belanda. Perjanjian ini ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinjaman.
Kesultanan Gunung Tabur (1800-1953) M
Kesultanan Gunung Tabur adalah kerajaan yang merupakan hasil pemecahan dari Kesultanan Berau, di mana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Utara.
Kesultanan Sambaliung (1800 - 1960) M
Kesultanan Sambaliung (sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung) adalah kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan Berau, sekitar tahun 1810-an. Sultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam.
Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung.
Kesultanan Bulungan (1731–1964) M
Kesultanan Bulungan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan dan Tawau,Sabah sekarang. Kesultanan Bulungan dihapuskan secara sepihak pada tahun 1964 dalam peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Tragedi Bultiken (Bulungan, Tidung, dan Kenyah) dan wilayah Kesultanan Bulungan hanya menjadi kabupaten yang sederhana.
Kerajaan Kotawaringin (1615-1948) M
Kerajaan Kepangeranan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan kepangeranan yang merupakan cabang keturunan Kesultanan Banjar dengan wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah. Menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615.
Pada tanggal 14 Januari 1946 daerah Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukan dalam daerah Dayak Besar. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.
Kerajaan Kubu (1772-1958)
Kerajaan Kubu atau landschap Koeboe adalah padalah sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang Yang Dipertuan Besar yang pernah berdiri dalam wilayah yang sekarang terletak di wilayah Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Syarif Hasan (1943 – 1958) ibni al-Marhum Syarif Muhammad Zainal Idrus al-Idrus, Tuan Besar of Kubu, diturunkan dari tahtanya saat Kesultanan Kubu dihapus oleh Pemerintah RI pada tahun 1958.
Kerajaan Kuripan (...-1837) M
Kerajaan Kuripan, atau disebut pula Kahuripan, adalah kerajaan kuno yang beribukota di kecamatan Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Kerajaan Kuripan berlokasi di sebelah hilir dari negeri Candi Agung (Amuntai Tengah). Sebutan Kerajaan Tabalong berdasarkan nama kawasan di mana kerajaan tersebut berada. Sedangkan nama Kuripan mungkin nama ibukotanya saat itu. Nama Kuripan diduga adalah nama lama Amuntai (kota) di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang terletak di sekitar muara sungai Tabalong.
Kesultanan Sambas (1671–1950) M
Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Provinsi Kalimantan Barat dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus pemerintahan dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Pada sekitar tahun 1671 Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas ini adalah ditempat yang baru di dekat muara Sungai Teberrau yang bernama Lubuk Madung.
Setelah jepang di bom atom oleh Sekutu, Pemerintahan Kesultanan Sambas berdiri kembali oleh sebuah Majelis Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma Muchsin Panji Anom, hingga kemudian dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat, Majelis Kesultanan Sambas kemudian memutuskan untuk bergabung dalam Republik Indonesia Serikat melalui Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada tahun 1950.
Kerajaan Selimbau (600 - 1925) M
Kerajaan Selimbau adalah sebuah kerajaan yang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kerajaan Selimbau merupakan mempunyai susunan pemerintahan yang lengkap. Kerajaan Selimbau dahulu bernama Kerajaan Pelembang, didirikan oleh sri paduka maharaja Bindu Mahkota.Selanjutnya kerajaan dipindahkan ke Sungai Terus oleh Pangeran Suta Muhammad Jalaludin dan menjadi Kerajaan Islam. Kerajaan Islam ini diberi nama Kerajaan Selimbau.
Kerajaan Sintang (Abad 4 - 1950) M
Kerajaan Sintang adalah Kerajaan Hindu kemudian menjadi Kerajaan Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia. Penguasa Kerajaan Sintang disebut Panembahan Sejarah awal Kerajaan Sintang dimulai ketika seseorang bernama Aji Melayu datang ke daerah Kujau sekitar abad ke-4 Masehi. Kedatangan Aji Melayu ternyata membawa kebudayaan Hindu masuk ke ranah Melayu di Kalimantan Barat, khususnya ke daerah Sintang.
Pengaruh Islam mulai masuk ke Kerajaan Sintang ketika kerajaan ini diperintah oleh Raden Purba. Setelah Raden Purba meninggal, tahta Kesultanan Sintang dipegang oleh Adi Nata bergelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairiwaddin.
Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) secara langsung turut berpengaruh terhadap eksistensi Kesultanan Sintang. Sesuai dengan kesepakatan untuk membentuk RIS, maka Indonesia dibagi ke dalam 16 negara bagian, termasuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Pada tanggal 17 Agustus 1950, terjadi perubahan dari RIS ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perubahan bentuk tersebut mengubah status Kesultanan Sintang menjadi swapraja yang kemudian menyerahkan (melebur) kekuasaannya ke dalam NKRI.
Kerajaan Tidung (1551-1916) M
Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di Kalimantan Utara, yang berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas.
Adua fase untuk menggambarkan sejarah dari Kerajaan Tidung, yaitu fase Kerajaan Tidung Kuno dan Kerajaan Tidung (Kerajaan Tarakan). Kerajaan Tidung Kuno merupakan cikal bakal dari berdirinya Kerajaan Tidung. Sejak pusat pemerintahan Kerajaan Tidung Kuno menetap di Tarakan pada tahun 1557 M, mulai saat itulah Kerajaan Tidung Kuno dikenal dengan nama Kerajaan Tidung atau Kerajaan Tarakan.
Ketika Datoe Maoelana Amir Bahar wafat, tahta Kerajaan Tidung diserahkan kepada Datoe Adil, putera sulung hasil pernikahan antara Datoe Maoelana Amir Bahar dengan Ratu Intan Doera. Datoe Adil memerintah di Kerajaan Tidung antara tahun 1896-1916.
Kerajaan Tanjungpura (1454-1950) M
Kerajaan Tanjungpura atau Tanjompura merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Kayong Utara ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura.
Pada masa pemerintahan Panembahan Karang Tanjung (1487-1504), pusat Kerajaan Tanjungpura yang semula berada di Negeri Baru dipindahkan ke Sukadana, dengan demikian nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana. Sukadana merupakan nama yang disebutkan untuk kerajaan ini dalam Hikayat Banjar.
Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir).
Dan semasa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut Kerajaan Indralaya. Indra Laya adalah nama dari satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura karena pindah lagi ke Karta Pura di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta di Keraton Muhammad Saunan yang ada sekarang yang terakhir sebagai pusat pemerintahan swapraja.
Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir).
Dan semasa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut Kerajaan Indralaya. Indra Laya adalah nama dari satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura karena pindah lagi ke Karta Pura di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta di Keraton Muhammad Saunan yang ada sekarang yang terakhir sebagai pusat pemerintahan swapraja.